Dalam kehidupan keseharian kita banyak perkara dan urusan yang bakal kita lalui. Kesemuanya itu pasti di luar kemampuan kita untuk menduga apakah yang akan berlaku. Di sinilah letak pengharapan kita sebagai hamba yang dha’if (lemah), yang tidak mempunyai sebarang kuasa untuk menentukan serta menyusun suatu keadaan. Karenanya Islam telah mengajarkan kepada kita untuk banyak melakukan sebab-sebab yang menjadi perantara untuk meraih keberhasilan (ihktiyar). Inilah konsep tawakkal kepada Allah yang sesungguhnya.
Tawakal merupakan perbaduan yang indah antara kepasrahan diri dengan ihktiyar atau usaha yang optimal. Setelah kita ikhtiyar dengan optimal, maka seharusnya kita bertawakal atas segala hasil yang akan didapatkan. Manusia hanya dituntut untuk berusaha, bekerja atau berproses, sedangkan hasil sesuai dengan sunnatullah dan ketentuan Allah yang berlaku.
Riwayat yang menunjukkan perlunya memadukan antara ikhtiyar dan tawakkal untuk meraih hasil maksimal adalah hadits dari Anas bin Malik ra, ada seseorang berkata kepada Rasul n:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ أَوْأُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ قَالَ اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“Wahai Rasulullah saw, aku ikat kendaraanku lalu bertawakkal, atau aku lepas ia dan aku bertawakkal? Rasulullah saw menjawab, “ Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakkalah.” (HR. Tirmidzi)
Imam Ahmad pernah bertanya kepada seseorang yang kerjaanya hanya duduk di rumah atau di masjid. Orang yang duduk tersebut berkata, “Aku tidak mengerjakan apa-apa. Rizkiku pasti akan datang sendiri. “Imam Ahmad lantas mengatakan, “Orang ini sungguh bodoh. Rasulullah sendiri saja telah bersabda:
إِنَّ الله جَعَلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي
“Sesungguhnya Allah menjadikan rizkiku dibawah bayangan tombakku.” (HR. Ahmad)
Dalam riwayat yang lain disebutkan dari Umar bin Khattab ra berkata, bahwa Nabi saw bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no.310)
Inilah di antara bukti bahwa tawakkal yang benar haruslah disertai dengan melakukan ikhtiyar (usaha). Nabi n mengisyaratkan bahwa burung tersebut bisa pulang dalam keadaan mendapatkan rizki dikarenakan ia juga melakukan usaha keluar di pagi harinya, disertai hatinya bersandar pada Allah.
Al Munawi juga mengatakan, ”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rizki.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At-Tirmidzi , 7/7-8, Maktabah Syamilah)
Sebagian orang seringkali salah kaprah dalam memahami tawakkal. Dikiranya tawakkal hanyalah sikap pasrah, tanpa ada usaha dan kerja sama sekali. Ini sungguh keliru. Tawakkal yang benar haruslah tercakup dua hal yaitu penyandaran diri pada Allah dan melakukan ihktiyar (usaha). Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Menjalankan tawakkal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan ikhtiyar (usaha) sekaligus juga memerintahkan untuk bertawakkal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan dalam melakukan sebab adalah suatu bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan bersandarnya hati pada Allah adalah termasuk keimanan.”
Allah swt dalam beberapa ayat memerintahkan kepada kita agar tidak meninggalkan ikhtiyar (usaha) sebagaimana firman- Nya:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al-Anfaal: 60)
Juga firman-Nya:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah. ” (QS. Al-Jumu’ah: 10)
Sahl At Tusturi mengatakan, ”Barangsiapa mencela ikhtiyar (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan). Barangsiapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan.”
Dari keterangan di atas bisa kita pahami bahwa tawakkal yang benar adalah disertai dengan ikhtiyar. Di samping ikhtiyar (usaha) perlu juga dibarengi dengan do’a dalam setiap usaha kita. Do’a inipun harus dilakukan baik di awal, di tengah, maupun di akhir amalan kita. Sehingga pada saat ikhtiyar dalam hati kita akan muncul kepasrahan dan ketundukkan kepada Allah atas apa yang akan terjadi. Karenanya ketiga hal tersebut harus berkesinambungan antara ikhtiar, doa, dan tawakal. Jika ketiganya sudah diterapkan dengan baik maka insya Allah kita akan mendapatkan hasil yang terbaik dan diridhai oleh Allah swt.
Konsep tawakkal inilah yang mestinya ternanam dalam diri seorang muslim. Karena hakekat dari tawakkal itu sendiri adalah amalan dan harapan, disertai dengan ketenangan hati dan ketentraman jiwa, serta keyakinan yang kuat bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik. Demikian itu karena seorang muslim meyakini adanya ketentuan-ketentuan Allah di alam semesta ini, dia pun kemudian mempersiapkan amalan-amalan dan mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai tujuannya. Ia juga tidak meyakini bahwa hanya usahanya yang menyebabkan ia mencapai tujuannya. Akan tetapi ia menyadari bahwa itu semuanya adalah datangnya dari Allah swt.
Allah swt berfirman;
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Insan: 30)
Akhirnya marilah kita kembalikan segala urusan kepada Allah swt yang maha mengatur lagi maha bijaksana. Hanya Allah-lah yang mencukupi dan menunjuki segala urusan, tidak ada illah yang berhak disembah dengan cara yang haq kecuali Allah.