Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akhlak yang baik. Bahkan Rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ ( رواه أحمد)
Artinya: “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” ( HR. Ahmad)
Dalam Islam, akhlak kepada siapapun ada aturan baku yang harus dipatuhi, baik akhlak kepada Sang Khalik maupun kepada sesama makhluk. Akhlak kepada Allah adalah berkaitan dengan ibadah, sementara akhlak kepada manusia adalah muamalah. Tidak sempurna iman seseorang jika salah satu dari keduanya tidak ditunaikan dengan benar.
Manusia diciptakan oleh Allah swt sebagai makhluk sosial, yang berarti membutuhkan kehadiran orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Alias tidak bisa hidup sendiri. Meski banyak orang yang mencoba hidup dengan mengasingkan diri, nyatanya mereka gagal bertahan. Ada yang ditemukan sudah jadi mayat ataupun dalam kondisi sekarat setelah berminggu-minggu hidup sendiri.
Kebutuhan kita terhadap orang lain adalah bagian dari fitrah yang tak terelakkan. Namun kehidupan bersama orang lain baru akan menjadi sebuah harmoni yang indah jika kita tahu bagaimana bertindak dan berperilaku terhadap sesama. Dan di antara sekian banyak manusia yang sering berinteraksi dengan kita adalah tetangga.
Tetangga adalah orang yang hidup berdekatan dengan kita , sehingga mereka mungkin tahu banyak aib dan cacat kita setelah keluarga kita sendiri. Tetangga pula yang sering membantu meringankan kesulitan yang kita hadapi, ketika keluarga tak mampu lagi mengatasi. Saking pentingnya posisi tetangga dalam kehidupan individu, Rasulullah saw banyak memberi peringatan tentang akhlak baik kepada tetangga .Dan bahkan dikaitkan dengan iman seseorang. Beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ (متفق عليه)
Artinya, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berbuat baik kepada tetangganya.” ( Muttafaq ‘alaih).
Dari sabda Nabi saw bisa disimpulkan bahwa indikasi kesempurnaan iman seseorang adalah perilakunya terhadap tetangga. Bahkan secara tegas Rasulullah menyebutkan tidak sempurnanya iman seseorang yang tidak berbuat baik kepada tetangga. Sehingga tetangga merasa terancam dari gangguannya. Diriwayatkan dari Abu Syuraih, Rasulullah bersabda:
وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ ، قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: الَّذِى لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapa yang tidak beriman, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Seseorang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Al Bukhari)
Maksud dari sabda beliau, “Demi Allah tidak beriman,” adalah tidak sempurna imannya.
Meski kita tidak akan menemukan tetangga yang sempurna, sebagaimana kita pun tidak sempurna. Dan ketidaksempurnaan tetangga justru menjadi peluang bagi kita untuk meraih pahala. Meski tidak semua tetangga akan kita perlakukan dengan sama. Karena kedudukan mereka memang berbeda.
Ada tetangga yang kita perlakukan istimewa karena ia memiliki 3 hak, yaitu tetangga dekat, muslim, kerabat. Maka ia mendapat perlakuan baik sebagai orang terdekat, karena ia yang paling sering kita buat repot, dan paling sering terganggu dengan keberadaan kita.Dari masalah kecil minta garam misalnya, sampai urusan besar tentang antar jemput anak atau hutang piutang. Karena ia muslim, maka haknya bertambah dengan perlakuan yang lebih baik dibandingkan dengan yang bukan muslim, karena ada hak seorang muslim atas muslim yang lain. Jika ia kerabat, maka hak kekerabatan juga harus ditunaikan.
Selain tetangga yang memiliki 3 hak, maka hak tetangga yang wajib kita tunaikan tergantung kondisi. Mungkin ada tetangga dekat , bukan muslim tapi kerabat. Maka ia mendapat hak sebagai tetangga dan kerabat. Ada pula tetangga dekat yang muslim namun ia bukan kerabat, maka haknya adalah diperlakukan baik sebagai tetangga sekaligus saudara seiman.
Dan dari sekian banyak tetangga yang berinteraksi dengan kita, tentu ada juga yang membuat kita repot, terganggu, atau bahkan sakit hati. Karena karakter buruk dan ilmu yang tidak memadai. Orang-orang seperti ini tidak otomatis kita jauhi, karena mereka juga memiliki hak atas kita. Di antaranya hak untuk mendapatkan ilmu dan bimbingan. Maka jika mereka membutuhkan kehadiran kita untuk mendapatkan ilmu, tak sepantasnya kita tolak. Kecuali dengan udzur syar’i. Begitu pula jika mereka membutuhkan kehadiran kita, tak sepantasnya kita abaikan.
Juga tak setiap keburukan kita balas dengan keburukan pula. Karena kekurangan orang lain sebenarnya adalah peluang bagi kita untuk beramal shalih yang berpotensi meningkatkan ketaqwaan. Jika hal buruk kita balas dengan keburukan kita tak ubahnya seperti mereka. Orang-orang seperti ini akan mengajarkan kepada kita untuk selalu bijak dalam bertindak, menjadi pemaaf, sekaligus mengenalkan kepada mereka tentang syari’at.
Akhlak baik kita kepada para tetangga adalah salah satu cara yang paling praktis untuk mengenalkan ajaran Islam yang sempurna kepada mereka tanpa perlu berkata-kata. Meski mungkin butuh waktu lama, tapi Insya Allah tidak akan sia-sia. Dengan niat karena menjalankan perintah Allah, kita akan lihat perubahan pada diri mereka atas ijin Allah. Baik berupa perubahan perilaku mereka yang menjadi Islami, ataupun minat yang tinggi untuk terus menuntut ilmu. Dan yang paling kita harapkan adalah kebaikan bagi diri kita sendiri, berupa amal shalih yang berpahala. Jadi, siapa mau?
Oleh: Ustadzah Sayyidah