Daftar Isi
Keteguhan dalam Berjihad
Thalhah atau Abu Muhammad merupakan salah satu dari sepuluh orang Sahabat yang mendapat jaminan Jannah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang perawi yang meriwayatkan banyak hadits Nabi, juga termasuk sahabat yang masuk Islam pada masa-masa awal. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’, I/24)
Selain itu, dia juga merupakan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang teguh dan tegar dalam berjihad di jalan Allah Ta’ala.
Kisah paling menonjol yang menunjukkan ketabahannya adalah ketika dia bersama Nabi serta sekelompok kecil Sahabat bertahan dalam Perang Uhud.
Ketika itu, Thalhah bersama beberapa Sahabat berjuang dalam pertempuran paling sengit dan tetap tabah membela Nabi dengan segala daya yang dimiliki.
Lebih dari tujuh puluh lima luka tusukan, sabetan, dan pukulan tidak menggoyahkan Sahabat ini dari kecintaannya untuk melindungi baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Ismail bin Muhammad Al-Asbahani, Siyar As-Salaf Ash-Shalihin, hlm. 220)
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah dia menceritakan, “Ketika peperangan di lereng Uhud semakin berkecamuk, pasukan kaum muslimin mulai berlarian menjauh.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dua belas orang Sahabat Anshar terkepung oleh pasukan musyrikin.
Salah satu dari Sahabat tersebut adalah Thalhah.
Saat pasukan musyrikin hendak menyerang, Rasulullah menyeru, “Siapakah yang akan menghadapi mereka?”
“Saya wahai Nabi.” Kata Thalhah mengajukan diri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tetaplah berada di posisimu.”
“Jika demikian, ijinkan saya wahai Rasul.” Sahut salah seorang Sahabat Anshar.
“Engkau. (Majulah)” Sabda Nabi.
Sahabat tersebut kemudian maju menghadapi kaum musyrikin hingga gugur di jalan Allah.
Kemudian Rasulullah kembali bertanya kepada Sahabat, “Siapa lagi yang yang akan menghadapi mereka?”
Thalhah berkata, “Saya wahai Nabi.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tetaplah berada di posisimu.”
Salah seorang Sahabat Anshar berkata, “Saya wahai Rasulullah.”
“Engkau. (Majulah)” Sabda Nabi.
Sahabat tersebut kemudian maju menghadapi kaum musyrikin hingga gugur di jalan Allah.
Kejadian tersebut terus berlangsung hingga setiap lelaki Anshar yang menemani Rasul gugur menghadapi kaum Musyrikin.
Hingga hanya tersisa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Thalhah bin Ubaidillah.
Nabi bersabda, “Siapa yang akan menghadapi mereka?”
Thalhah mengatakan, “Saya wahai Nabi.”
Kemudian dia berjuang layaknya sebelas Sahabat Anshar sebelumnya, sampai-sampai tulang tangannya remuk dan jemarinya terpotong oleh sabetan pedang musuh.
“Wahai Thalhah, jika engkau mengucap basmallah (dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) maka Malaikat akan mengangkatmu sedangkan orang-orang itu melihat.” Sabda Nabi.
Maka Allah pun mengusir para penyembah berhala itu. (Sunan An-Nasai, no. 3149)
Dalam riwayat lain, Al-Bukhari menyampaikan sebuah hadits dari Sahabat Abu Utsman radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Tidak ada yang tetap membersamai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian hari-hari dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang di dalamnya (Perang Uhud) kecuali Thalhah dan Sa’ad.” (HR. Bukhari, No. 3444)
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa ketika pertempuran Uhud semakin intensif dan sengit, beberapa Sahabat tetap bertahan.
Dia melihat seorang lelaki di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap berjuang dengan segenap kemampuan yang dimiliki.
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pun berteriak di tengah kecamuk perang, “Sungguh Ayah dan Ibuku sebagai tebusan, jadilah seperti Thalhah.”
Sehingga Sahabat yang lainnya terbakar semangat dan terus berjuang sebagaimana Thalhah berjuang.
Senantiasa Menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Selain kegigihan yang diwariskan pada Perang Uhud, Thalhah juga merupakan salah seorang Sahabat yang menetap di Mekah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum Hijrah.
Dia membersamai Nabi dalam bersabar menghadapi gangguan dari orang-orang Kafir Quraisy.
Pun setelah hijrah ke Madinah, Thalhah senantiasa mengikuti perang yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali Perang Badar.
Absennya Thalhah dari Perang Badar tersebab tugas yang diamanahkan oleh Nabi kepadanya.
Hingga saat misi itu tuntas dilaksanakan, ternyata pertempuran telah usai dan Thalhah pun bersedih karenanya.
Tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meyakinkannya bahwa dia akan mendapat pahala yang setara dengan para Pejuang Badar dan Beliau juga memberikan kepada Thalhah bagian dari ghanimah sebagaimana orang-orang yang turut berperang. (Muhammad ‘Uwaidhah, Fashlu Al-Khitab fi Az-Zuhdi wa Ar-Raqaiq wa Al-Adab, I/532)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menginginkan untuk melihat syahid yang berjalan di muka bumi, maka hendaklah ia melihat kepada Thalhah bin Ubaidillah.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala, I/26-25)
Thalhah radhiyallahu ‘anhu syahid pada hari berkecamuknya Perang Jamal pada umur yang ke enam puluh tiga tahun.
Saat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu melihatnya gugur di atas muka bumi, maka Ali merasakan kesedihan yang sangat luar biasa.
Hingga kemudian Ali menyeka debu dari muka dan janggut Thalhah bin Ubaidillah sembari berujar, “Duhai, seandainya saja aku mati dua puluh tahun sebelum hari ini.”
Demikianlah sepenggal kisah Thalhah bin Ubaidilla radhiyallahu ‘anhu. Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad.
Sahabat yang senantiasa mengikuti setiap peperangan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ikuti, kecuali Perang Badar. Semoga Allah ridha kepadanya dan dia pun ridha kepada Allah.
Wallahu a’lam bish shawab.