BerandaKajianTarbiyahUpaya Orang Tua Dalam Menumbuhkan Sikap Muraqabatullah Pada Anak Sejak Usia Dini

Upaya Orang Tua Dalam Menumbuhkan Sikap Muraqabatullah Pada Anak Sejak Usia Dini

- Advertisement -spot_img

Oleh : Zahra (Mahasantri Ma’had Aly Ta’hil al-Mudarrisat Darusy Syahadah)

Pendahuluan

Pendidikan karakter merupakan suatu upaya dalam membentuk karakter anak usia dini yang mempunyai nilai dasar untuk membangun pribadinya dan membedakan dirinya dengan yang lain, serta membentuk kebiasaan dalam sikap dan perilaku di kehidupan sehari-hari.[1] Oleh karena itu, orang tua perlu menumbuhkan karakter dalam diri anak sejak usia dini. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam merupakan teladan terbaik sepanjang masa dan figur panutan dalam berperilaku dan berakhlak.[2]

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

إِنَّمَا بٌعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

Aku ini diutus untuk menyempurnakan akhlak”.[3]

Salah satu bentuk akhlak yang perlu ditanamkan orang tua dalam diri anak usia dini adalah murâqabatullâh. Murâqabatullâh merupakan sikap yang menyakini bahwasanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa mengawasi hamba-Nya dimanapun meraka berada. Sikap ini tertuang dalam beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya yaitu firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

وَهُوَ ٱللَّهُ فِي ٱلسَّمٰوٰتِ وَفِي ٱلۡأَرۡضِ يَعۡلَمُ سِرَّكُمۡ وَجَهۡرَكُمۡ وَيَعۡلَمُ مَا تَكۡسِبُونَ

Dan Dialah Allah (yang diibadahi), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.”[4]

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:

وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُۚ

Dan ketahuilah bahwasanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengetahui apa yang ada dalam hatimu”.[5]

Sikap murâqabatullâh atau menyadari bahwasanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu mengawasi di setiap keadaan hamba-Nya, dapat mendorong anak usia dini untuk mengendalikan dirinya atas semua perkataan dan perbuatan yang akan anak lakukan.[6]

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim;

أعْبُدِ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Beribadahlah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala seolah-olah engkau melihat-Nya, sekalipun engkau tidak melihat-Nya tetapi Dia melihatmu.”[7]

Sikap murâqabatullâh juga dapat menumbuhkan rasa malu dalam diri anak dan menjadi salah satu penghalang untuk melakukan perbuatan-perbuatan dosa bahkan yang mendekatinya.[8] Jika orang tua tidak mengajarkan sikap murâqabatullâh sejak dini kepada anak, akan memungkinkan anak mudah terjerumus pada hal-hal yang menyimpang di kemudian hari.

Salah satu penyebab terjadinya perilaku penyimpangan di kalangan anak usia dini adalah karena minimnya sikap merasa diawasi oleh Allah Subhanahu Wa ta’ala dalam diri anak. Faktor lain juga adalah minimnya pengawasan orang tua sehingga anak melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, orang tua wajib untuk menanamkan sikap murâqabatullâh dalam diri anak sedini mungkin. Hal tersebut ditujukan untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan yang menyalahi aturan Allah pada usia dini sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.

Urgensi Murâqabatullâh pada Diri Anak Usia Dini

Ibnu al-Qoyyim rahimahullah berkata, murâqabatullâh yaitu keyakinan pada hati serta memiliki pengetahuan yang kuat dalam diri bahwasanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu berada dalam pengawasannya, baik dalam hal yang diketahui dan dapat dilihat oleh orang lain maupun yang dirahasiakannya.[9] Oleh karena itu penting bagi orang tua mengetahui beberapa urgensi murâqabatullâh pada diri anak usia dini. Adapun urgensi tersebut adalah:

  1. Menjadi Sistem Kontrol yang Efektif

Orang tua yang menanamkan sikap murâqabatullâh pada anak sedini mungkin dan benar-benar meyakinkan pada anak bahwasanya Allah senantiasa mengetahui segala tingkah laku manusia dan apa saja yang terdapat di dalam hati, akan menjadikan anak tumbuh dengan selalu merasa diawasi oleh Allah. Sehingga anak benar-benar meyakini bahwa  tidak ada tempat untuk berlari dari pengetahuan Allah.[10] Maka hal tersebut akan menjadi salah satu sebab anak akan meninggalkan perbuatan buruk ketika usia anak mulai beranjak dewasa. Selain itu juga menjadi sistem kontrol yang efektif bagi anak usia dini untuk menghadirkan amalan-amalan terbaik dalam kehidupannya.[11]

Orang tua juga perlu memberi tahu kepada anak nama-nama Allah untuk menambah wawasan kepada anak.  Salah satu nama Allah yaitu al-Raqib, yang artinya yaitu Maha Mengawasi. Nama tersebut menunjukkan bahwasanya Allah tidak pernah absen dalam mengawasi semua ciptaan-Nya dan mengetahui setiap jengkal gerakan yang diperbuat oleh ciptaan-Nya.[12]

  1. Menjadi Pengendali Hawa Nafsu

Pada hakikatnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala sangatlah dekat dengan para hamba-Nya. Namun, kedekatan hamba dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan terasa semakin jauh jika seorang hamba banyak melakukan kemaksiatan secara sadar ataupun tidak. Kesalahan atau kemaksiatan yang dilakukan seorang hamba sangat sulit untuk dilepaskan, dan hal ini merupakan kelemahan seorang hamba dalam mengendalikan dirinya dari dorongan hawa nafsu.[13]

Hawa nafsu adalah kecenderungan untuk melakukan apa-apa yang disukai, baik itu untuk melampiaskan syahwat yang sesuai dengan keseharian atau mengikuti syubhat yang meracuni fikirannya. Kecenderungan nafsu yang ada dalam diri merupakan sebuah fitrah. Oleh karena itu, dengan adanya penanaman murâqabatullâh pada anak usia dini akan mendidik, membimbing dan mengarahkannya pada manhaj yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.[14]

Sebagaimana sabda Rasulullah Sallalahu ‘Alaihi Wa Sallam yang berbunyi:

وعن عبد اللَّه بن عمرو – رضي اللَّه عنهما – قال: قال رسول اللَّه صَلَّى اللَّه عليْهِ وسَلَّم: «لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبْعًا لما جئت بِهِ»

Tidaklah sempurna keimanan salah seorang dari kalian sampai kesenangan nafsunya mengikuti apa (wahyu) yang aku bawa”.[15]

Demikian juga dapat mengambil pelajaran dari para ulama salaf terdahulu yang sanggup mengendalikan hawa nafsunya dan menjadikan nafsu itu mengikuti syariat dengan ketakwaan, keikhlasan dan murâqabatullâh. Para ulama salaf menjadikan nafsu bergerak sesuai dengan ruang yang telah diatur oleh syariat. Namun jika nafsu mereka menolak maka para ulama salaf tetap akan teguh berjalan sesuai dengan syariat.[16] Pelajaran tersebut sangat bagus jika diterapkan dalam kehidupan anak sejak usia dini untuk membantu mengendalikan hawa nafsu yang tidak memandang usia.

  1. Menjadi Penguat Iman bagi Anak

Iman dikatakan sempurna jika telah terbentuk keluhuran akhlak, tingkah laku, watak dan karakter dalam diri anak. Ketika anak telah ditanamkan murâqabatullâh sejak usia dini maka anak lebih berhati-hati dalam bertindak dan bertutur kata. Sehingga keimanan tersebut menjadi penguat bagi anak untuk tidak melakukan hal-hal di larang oleh Allah.   Menurut Dr. Abdullah Nashih ‘Ulwan berkata bahwa kefasikan, kekafiran, penyimpangan dan kesesatan adalah dampak dari lemahnya pendidikan iman sehingga anak akan selalu dituntun oleh hawa nafsunya untuk melakukan hal-hal kejelekan dan cenderung mudah mengikuti bisikan-bisikan setan.[17]

Berdasarkan beberapa point tersebut penulis menyimpulkan bahwa murâqabatullâh sangat penting untuk ditanamkan oleh anak sejak usia dini.

Upaya Orang Tua dalam Menumbuhkan Sikap Murâqabatullâh pada Anak Sejak Dini

  1. Menanamkan Aqidah Sejak Dini

Salah satu cara orang tua untuk menumbuhkan sikap muraqobatullah pada anak yaitu dengan menanamkan aqidah yang kokoh sejak dini. Penanaman aqidah merupakan ajaran yang paling mendasar dalam Islam. Adapun ketika akidah tertanam dengan kokoh maka akan menjadi pondasi yang kokoh bagi bangunan Islam. Begitupun sebaliknya jika pondasi akidah seorang anak itu rapuh, maka bangunan keislaman dan keimanannya juga akan rentan untuk roboh.[18]

Menanamkan aqidah merupakan asas yang paling berpengaruh pada anak sejak usia dini agar selalu merasa diawasi oleh Allah, merasakan keagungan-Nya, dan takut kepada-Nya dimanapun dan kapanpun itu.[19] Terutama dengan mengenalkan ke-Esaan Allah untuk membentengi anak usia dini dari gelombang arus kerusakan zaman yang semakin pesat. Sebab apabila dalam diri anak usia dini telah ditanamkan keyakian bahwasanya Allah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya, maha Melihat lagi maha Mengetahui setiap gerak gerik perbuatan hamba-Nya maka akan melahirkan murâqabatullâh (selalu diawasi Allah) di dalam hatinya. Hasil dari menanamkan keyakinan tersebut yaitu menjadikan benteng pengaman yang kokoh dalam diri anak usia dini sehingga mereka tidak akan terjerumus pada perbuatan buruk yang lainnya. Terlebih lagi bila orang tua mampu menanamkan di dalam hati anak usia dini kecintaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan selalu mengharap keridhaan-Nya.[20]

  1. Mengajarkan Akhlak Malu

Mengajarkan akhlak malu merupakan salah satu upaya orang tua untuk membentengi anak usia dini dari segala perbuatan yang menyalahi aturan Allah. Akhlak malu merupakan salah satu ciri khas manusia yang harus dimiliki, sebab akhlak malu merupakan salah satu pembeda antara manusia dan hewan. Oleh karena itu, jika sesorang tumbuh dengan tidak memiki rasa malu maka akan dipermisalkan seperti hewan yang tidak mempunyai akal untuk berfikir.[21]

Adapun ketika anak usia dini tahu bahwa malu merupakan bagian dari iman. Maka anak usia dini akan merasa malu jika melakukan kemaksiatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alai Wasallam yang artinya: “iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang, yang paling utama adalah (ucapan) laa ilaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu termasuk salah satu cabang dari iman”. (HR. Muslim: 35. Dari abu Hurairah radiallahu ‘anhu).[22]

Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga bersabda yang berbunyi:

عَنْ ‌أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى ‌إِذَا ‌لَمْ ‌تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

 “Diantara yang diperoleh manusia dari perkataan para nabi adalah: Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesuka hatimu”.[23]

Hadits yang kedua di atas mempunyai dua penafsiran: Pertama, hal tersebut merupakan bentuk peringatan dan ancaman. Maknanya yaitu jika rasa malu dalam diri seseorang telah hilang, maka akan melakukan perbuatan buruk sesuai dengan keinginannya. Hakikatnya seseorang akan meninggalkan perbuatan buruk jika di dalam dirinya terdapat rasa malu. Adapun yang Kedua yaitu ketika seseorang melakukan perbuatan buruk maka penyebab utamanya adalah tidak adanya rasa malu di dalam dirinya terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hakikatnya sesorang itu akan meninggalkan perbuatan buruk karena malu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang Maha Mengawasi pada segala perbuatan manusia.[24] Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

إِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ

lakukanlah apa yang kalian kehendaki”.[25]

Berdasarkan pernyataan yang kedua yaitu sebuah izin dan kebolehan.

  1. Menceritakan Kisah-kisah Terdahulu yang Berkaitan dengan Murâqabatullâh

Ajaran muroqabatullah yang begitu dalam, terdapat kisah-kisah nyata dari para salafus shalih yang menjadi contoh teladan bagi kita. Mereka bukan hanya menghafal konsep ini, tetapi hidup dalam kesadaran penuh akan pengawasan Allah. Kisah-kisah ini, yang penuh dengan hikmah dan pelajaran, mengingatkan kita betapa pentingnya hidup dengan penuh kesadaran dan keikhlasan dalam setiap tindakan kita.

  1. Kisah murid kesayangan guru yang tidak bisa menyembelih dikarenakan Allah maha mengetahui yang tampak dan tersembunyi.[26]
  2. Kisah putri penjual susu dan seorang ibu yang hidup di zaman umar bin khattab.[27]
  3. Seorang pengembala yang tidak mau menjual gembalaannya meski tidak diketahui majikannya di karenakan banyaknya hewan gembalaannya.[28]

 

  1. Membiasakan Murâqabatullâh Sejak Usia Dini

Para ulama salaf terdahulu telah menanamkan kebiasaan murâqabatullâh kepada anak sejak usia dini. Dampak kebiasaan ini sangat berpengaruh besar pada diri anak usia dini ketika diterapkan dalam kehidupannya. Oleh karena itu hendaknya orang tua menerapkan hal tersebut dalam diri anak sejak dini.

Sebagaimana kisah Sahl bin Abdillah al-Tastari berkata, “suatu hari ketika saya berusia tiga tahun pernah bangun malam. Kemudia saya memperhatikan shalat yang dilakukan oleh paman saya yang bernama Muhammad bin Siwar. Pada suatu hari ia berkata padaku, “apakah engkau mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah menciptakanmu? Sahl menjawab, “bagaimana saya bisa mengingat-Nya?.Sang paman menjawab, “Ucapkanlah dalam hatimu ketika engkau hendak tidur sebanyak tiga kali tanpa henti.

اللهُ مَعِيْ اللهُ نَاظِرُ إِلَيَّ اللهُ شَاهِدِيْ

“Allah bersamaku, Allah memperhatikanku, Allah menyaksikanku.

Maka aku pun mengucapkannya (sebanyak sebelas kali), dan ternyata saya merasakan manis dalam hati saya.” Sesudah satu tahun berlalu, paman saya berkata padaku, “jagalah apa yang terus aku ajarkan kepadamu dan lakukan terus hingga engkau masuk kubur. Karena sesungguhnya hal itu akan memberimu manfaat di dunia dan akhirat.” Maka aku membiasakan untuk melakukan hal tersebut hingga bertahun-tahun lamanya dan benar saya merasakan manisnya (iman) dalam hati. Selanjutnya paman saya berkata, “wahai Sahl, siapa yang merasa Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa bersamanya, memperhatikannya dan menyaksikannya akankah ia akan bermaksiat kepada-Nya? Maka jauhilah kemaksiatan.”[29] Demikianlah usaha para salaf untuk menanamkan sikap murâqabatullâh pada anak sejak usia dini. Jika sikap ini telah tertanam dalam hati mereka dan menjadi kebiasaan, niscaya anak usia dini akan enggan untuk melakukan perbuatan buruk sekalipun dalam keadaan sendiri tanpa pengawasan orang tuanya.

Kesimpulan

Murâqabatullâh (selalu merasa diawasi oleh Allah) adalah salah satu upaya orang tua untuk mengatasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada anak. Sehingga murâqabatullâh sangat penting ditanamkan sejak usia dini. Adapun urgensi dari penanaman sikap murâqabatullâh ini yaitu menjadi sistem kontrol yang efektif, menjadi pengendali nafsu, menjadi penguat iman bagi anak. Adapun upaya orang tua dalam menumbuhkan sikap murâqabatullâh yaitu menanamkan akidah yang kokoh pada anak sejak dini, mengajarkan sifat malu, Menceritakan kisah-kisah terdahulu yang berkaitan dengan murâqabatullâh, Menjadikan murâqabatullâh itu menjadi kebiasaan.

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an
  2. Abdullah bin al-Mubarak al-Maruziy, Az-Zuhdi Wa Ar-Raqoiq Li-Ibni Mubarak, (t.tp: tp, 1431).
  3. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Cet. X, (Sukoharjo: Insan Kamil Solo, Oktober 2018).
  4. Abu al-Abbas al-Husen bin Sufyan, Kitab Al-Arbain, Cet. I, (Biirut: Daaru al-Basyair al-Islamiyah, 1414 H).
  5. Abu Daud al-Thayaalisi Sulaiman bin Daud bin al-Jaaruud, Musnad Abi Daud al-Thayalisi, Cet. I, (Mesir: Daaru Hijra, 1999).
  6. Abu Ihsan al-Atsari dan Ummu Ihsan, Ensiklopedi Akhlak Salaf, Cet IV, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, April 2019).
  7. Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman, (Jakarta: Sakata Cendikia, 2015).
  8. Raghib As-Sirjani, Uswah Lil Alamin dan Man Huwa Muhammad, Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam, Cet. I, (Solo: Insan Kamil, Desember 2011).
  9. Erna Lovita dkk, Riset dalam Perspektif Budaya, Cet. I, (Malang: Penerbit Peneleh, Juni 2022).
  10. Fazal Cahyadianto, Skripsi: Nilai-Nilai Pendidikan Muraqabah Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Implementasinya dalam Menanggulangi Kenakalan Remaja, (Simo: Ma’had Aly Darusy Syahadah, 2024).
  11. Ibnu Mulqan Siraaju ad-Diin Abu Hafsin, Thobaqootu al-Auliya’, Cet II, (Al-Qoohiroh: Maktabah al-Khoonajii 1994)
  12. Ali Ramdhani, “Lingkungan Pendidikan dalam Implementasi Pendidikan Karakter”, Jurnal Pendidikan, vol.08, No. 01, tahun 2014.
  13. Majalah Ar-Risalah, Menjaga Indra Menyapi Raga, I, (t.tp: Majalah ar-Risalah, Februari 2020).
  14. Muhammad Abdul Hakim Hamid, Jangan Merusak Agamamu dengan Bersikap Ekstrem, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, Februari 2023).
  15. Muhammad Syafi’i el-Bantanie, Menjadi Bunda Yang Dirindukan, (Jakarta: PT Gramedia, 2018).
  16. Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan, Shahih Muslim, (Beirut: Daar Ihya al-Turots a’Arabi, 1431).
  17. Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, (t.tp: Muassasatu al-Risalah, 2021).
  18. Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakr bin Qayyim Al-Jauziyah, Ad-Da’ wad Dawa’, Terj. Salafuddin Abu Sayyid, Cet. II, (Sukoharjo: Al-Qowam, September 2017).
  19. Tim republika, Seratus Cerita Tentang Akhlak, (Jakarta: februari 2006).
  20. Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al Atsary, Tarbiyah Jinsiyah, (Jakarta: Pustaka al-Khair, 2021).
  21. Yiyin Ema Amalia, Mutira Hikmah Madrasah Keluarga, (t.tp:2021 E-Book).

 

[1] M. Ali Ramdhani, “Lingkungan Pendidikan dalam Implementasi Pendidikan Karakter”, Jurnal Pendidikan, vol.08, No. 01, tahun 2014, hal. 30.

[2] Dr. Raghib As-Sirjani, Uswah Lil Alamin dan Man Huwa Muhammad, Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam, Cet. I, (Solo: Insan Kamil, Desember 2011), hal. 17.

[3] Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, (t.tp: Muassasatu al-Risalah, 2021), hal 14.

[4] QS. al-An’am: 3.

[5] QS. al-Baqarah: 235.

[6] Erna Lovita dkk, Riset dalam Perspektif Budaya, Cet. I, (Malang: Penerbit Peneleh, Juni 2022), hal. 14.

[7] Abdullah bin al-Mubarak al-Maruziy, Az-Zuhdi Wa Ar-Raqoiq Li-Ibni Mubarak, (t.tp: tp, 1431), hal. 63.

[8] Majalah Ar-Risalah, Menjaga Indra Menyapi Raga, Cet. I, (t.tp: Majalah ar-Risalah, Februari 2020), hal. 32.

[9] Abu Ihsan al-Atsari dan Ummu Ihsan, Ensiklopedi Akhlak Salaf, Cet IV, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, April 2019), hal. 51.

[10] Fazal Cahyadianto, Skripsi: Nilai-Nilai Pendidikan Muraqabah Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Implementasinya dalam Menanggulangi Kenakalan Remaja, (Simo: Ma’had Aly Darusy Syahadah, 2024), hal. 33.

[11] Abu Ihsan al-Atsari dan Ummu Ihsan, Ensiklopedi Akhlak Salaf, Cet IV, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, April 2019), hal. 151.

[12] Abu Ihsan al-Atsari dan Ummu Ihsan, Ensiklopedi Akhlak Salaf, Cet IV, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, April 2019), hal. 153.

[13] Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman, (Jakarta: Sakata Cendikia, 2015), hal. 150.

[14] Muhammad Abdul Hakim Hamid, Jangan Merusak Agamamu dengan Bersikap Ekstrem, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, Februari 2023), hal. 339.

[15] Abu al-Abbas al-Husen bin Sufyan, Kitab Al-Arbain, Cet. I, (Biirut: Daaru al-Basyair al-Islamiyah, 1414 H), hal. 51.

[16] Muhammad Abdul Hakim, Jangan…., hal. 339.

[17] Yiyin Ema Amalia, Mutira Hikmah Madrasah Keluarga, (t.tp:2021 E-Book), hal. 1

[18] Muhammad Syafi’i el-Bantanie, Menjadi Bunda Yang Dirindukan, (Jakarta: PT Gramedia, 2018), hal. 204.

[19] Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Cet. X, (Sukoharjo: Insan Kamil Solo, Oktober 2018), hal. 550.

[20] Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al Atsary, Tarbiyah Jinsiyah, (Jakarta: Pustaka al-Khair, 2021), hal. 40.

[21] Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al Atsary, Tarbiyah…., hal. 58.

[22] Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan, Shahih Muslim, (Beirut: Daar Ihya al-Turots a’Arabi, 1431), hal. 63.

[23] Abu Daud al-Thayaalisi Sulaiman bin Daud bin al-Jaaruud, Musnad Abi Daud al-Thayalisi, Cet. I, (Mesir: Daaru Hijra, 1999), hal. 15.

[24] Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakr bin Qayyim Al-Jauziyah, Ad-Da’ wad Dawa’, Terj. Salafuddin Abu Sayyid, Cet. II, (Sukoharjo: Al-Qowam, September 2017), hal. 163.

[25] QS. Fusshilat: 40.

[26] Tim republika, Seratus Cerita Tentang Akhlak, (Jakarta: februari 2006), hal.39.

[27] Ibid…., hal.40.

[28] Muhammad syafi’I el-Bantanie, Menjadi Bunda Yang Dirindukan, (Jakarta: PT Gramedia, 2018), hal.197-198.

[29] Ibnu Mulqan Siraaju ad-Diin Abu Hafsin, Thobaqootu al-Auliya’, Cet II, (Al-Qoohiroh: Maktabah al-Khoonajii 1994), hal. 233.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
12,700PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
9,600PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami