Daftar Isi
Wanita, Peranmu Sangat Dinantikan
Oleh Fadia Nurul Aftika (Mahasantri Mahad Aly Li Tahil Al-Mudarrisat)
Begitu banyak peran yang bisa diambil oleh para wanita. Mereka bisa menjadi sumber kebanggaan, penggerak untuk melakukan kebaikan, bahkan melawan kezaliman.[1]
Sesungguhnya, seorang wanita yang telah dibina oleh Islam, dijaga hak-haknya, ditinggikan derajat dan kemuliaannya, dijadikan sebagai makhluk ideal dan teladan untuk diikuti, akan melaksanakan kewajiban sebagai ibu dan pendidik yang baik bagi generasi penerusnya.
Dia akan ikut berpartisipasi dengan ilmu dan kesungguhan dalam perjuangan untuk meninggikan bendera Islam.[2]
Wanita tidak jauh berbeda dengan laki-laki. Dia juga memiliki kewajiban untuk berdakwah dan beramar ma’ruf nahi munkar dengan adab syar’i dan tabiat kewanitaannya. Di tengah-tengah kewajibannya sebagai seorang daiyah, seorang wanita harus pandai mengatur waktu dan memilih prioritas amal.
Antara mengembangkan potensi diri dengan keimanan dan menyucikannya dengan ibadah, menjaga suami dan rumahnya, mendidik anak-anak serta berinteraksi dengan mereka di saat senja, sehingga terwujud keseimbangan antara tugas di rumah dan di luar rumah.
Dia juga harus mengubah paradigma secara menyeluruh; dari paradigma sekuler menjadi paradigma yang Islami. Oleh karena itu, jika seorang Muslimah telah berhasil menunaikan kewajibannya di rumah, dia akan mampu menunaikan kewajiban di luar rumah dengan baik.[3]
Kewajiban Seorang Muslimah
Seorang Muslimah seharusnya tidak pernah melupakan kewajiban terhadap ilmu pengetahuan dan segala hal yang bermanfaat bagi dirinya. Dengan demikian, dia akan selalu belajar, mengajar, dan berdakwah kepada Allah dengan segala cara yang sesuai dengan kodratnya sebagai seorang wanita.
Ketika kita merenungkan sejarah Wanita Muslimah, kita akan menemukan bahwa mereka telah memberikan banyak contoh dan teladan bagi sesama wanita di berbagai bidang. Mulai dari ilmu pengetahuan, adab, semangat untuk menuntut ilmu langsung dari sumbernya, hingga pengamalan ilmu yang telah dimiliki.
Ibunda Aisyah adalah salah satu teladan terbaik bagi kita, tentang bagaimana seorang Muslimah harus mengejar ilmu.
Salah satu keistimewaan beliau adalah pengetahuannya yang sangat dalam dan luas di berbagai bidang pengetahuan seperti hadits, sastra, fikih, faraid (ilmu tentang harta warisan), bahkan kedokteran.[4]
Imam Az-Zuhri berkata tentang Aisyah, “Seandainya ilmu Aisyah dikumpulkan dengan ilmu seluruh ummahâtul mukminîn (istri-istri Nabi ﷺ) dan seluruh ilmu Wanita di dunia, maka ilmu beliaulah yang paling utama.”
Hisyam bin Urwah berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang pun yang lebih mengetahui ilmu fikih, kedokteran, dan syair selain Ibunda Aisyah.” Beliau terkenal sebagai seorang yang sangat selektif dan teliti.[5]
Al-Maziyyu menyebutkan, “Tidaklah beliau mendengar sebuah perkara yang belum diketahuinya kecuali akan dicarinya hingga dapat.” Beliau termasuk dalam jajaran orang-orang yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah ﷺ.
Sepeninggal Rasulullahﷺ, beliau menjadi contoh terbaik penghuni rumah nubuwah yang berfatwa, mengajar, menyebarkan agama Allah ﷻ, dan banyak membantu para khalifah serta penguasa.[6]
Seorang wanita memikul tanggung jawab berat yang terkadang tidak disadari, yaitu tanggung jawab berdakwah. Oleh karena itu, ia tidak seharusnya mengharapkan balasan kecuali dari Allah dan tidak menganggap remeh setiap amal, seberapa pun kecilnya.
Ia adalah seorang daiyah di dalam rumahnya. Sasaran dakwahnya adalah anak-anaknya. Materi dakwahnya mencakup norma pergaulan yang baik, akhlak dan perilaku yang baik, membimbing untuk berperan dalam dakwah, dan memotivasi mereka dengan berbagai cara.
Lapangan dakwah seorang wanita seharusnya melibatkan berbagai lapisan masyarakat, seperti siswi, ustadzah, dan ibu-ibu. Ia pun harus menyadari bahwa di depannya terbentang jalan yang tidak mudah dilalui, yang memerlukan tekad kuat, niat tulus, kesungguhan, dan waktu.
Ia seharusnya tidak berharap hasil dakwah akan datang dengan cepat. Alih-alih, ia harus bersukacita dengan pertolongan dari Allah ﷻ sesuai dengan kadar usahanya.[7]
Selain itu, seorang wanita sebaiknya benar-benar memahami tujuan dakwah dan sarana-sarana syar’i yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan tersebut.
Juga memahami masalah-masalah yang dihadapi dalam menjalankan Islam, sehingga pengetahuan yang dimiliki dapat membantunya untuk merencanakan strategi mengatasi tantangan tersebut.[8]
Sebaiknya, dia tidak terlalu keras dalam berdakwah, tetapi harus bersikap proporsional dalam menangani semua situasi.
Dengan cara ini, akan lebih terlihat toleransi dan fleksibilitas dalam metode dakwah Islam, sejalan dengan pendekatan lemah lembut yang dianut oleh Rasulullah ﷺ dalam menyebarkan Islam.
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah yang sehat, bersikap moderat, adil, dan menjauhi ketidakselarasan serta kerumitan.[9]
Dia dituntut agar senantiasa ikhlas dalam berkata dan beramal. Sebab, niat yang ikhlas karena Allah ﷻ dalam memperbaiki manusia, mendidik, serta mengajar mereka, akan berpengaruh besar dan efektif terhadap kejiwaan mereka.
Wanita yang Berilmu
Setiap bertambah keikhlasan dalam berdakwah, akan semakin mudah dia jumpai telinga-telinga yang peka dan hati jernih bercahaya yang menerima kebenaran. Seorang daiyah harus membekali diri dengan ilmu syar’i dan mencarinya secara langsung dari sumber yang jernih agar bisa menyeru manusia dengan bashirah (ilmu).[10]
Allah ﷻ berfirman
قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِيْ أَدْعُوْا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَ مَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku! Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata’.” (QS. Yusuf [12]: 108)[11]
Orang berilmu memiliki kedudukan yang tinggi di mata manusia. Dia menjadi tempat rujukan dan perkataannya lebih didengar daripada orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak berilmu tidak bisa memberi manfaat apa pun.[12]
Seorang daiyah harus mampu memilih prioritas amal, mengatur waktunya, mengorganisasi dan membuat planning agar tidak terkesan kacau dan sentimental. Jangan sampai dirinya tidak teratur agar jika ada seorang wanita yang mengajak berdakwah, dia bisa memenuhinya dengan segera.
Di medan dakwah pun demikian, dia harus memiliki prioritas, manajemen waktu yang baik, dan keseimbangan dalam sisi ini.[13]
Apabila dia mengatur urusannya lalu datang permintaan untuk berdakwah tanpa terjadwal sebelumnya dan tanpa waktu yang cukup, dia berhak menolak permintaan tersebut walau terkadang sangat penting.
Sebab, hal itu dapat mengacaukan prioritas dan jadwal sehingga kadang kala justru menelantarkan hak-hak sang daiyah. Kasus tersebut tergantung pada situasi dan kondisi. Terkadang seorang daiyah boleh menerima permintaan tersebut.
Akan tetapi secara umum, kegiatannya harus rapi dan teratur. Oleh karena wanita berbeda dengan laki-laki yang bisa keluar kapan saja dan mengikuti aktivitas apa saja, dia harus mengatur dirinya dan mempersiapkan kegiatannya secara proporsional agar bisa berpartisipasi dan mengambil peran tanpa ada yang terkurangi.[14]
Banyak para istri tidak mengetahui bahwa dirinya berserikat dengan suaminya dalam urusan pahala dan amal yang Allah ﷻ kuasakan pada sang suami.
Dia berserikat ketika dia mempersiapkan suasana yang nyaman di rumah, untuk memulihkan kekuatan daya pikir, keberanian, kesabaran, dan kemauan suaminya untuk terjun kembali ke medan dakwah dan aktivitas kebaikan lainnya.
Kebodohan atau bisa dikatakan pura-pura bodoh dalam hal tersebut, kadang kala akan menimbulkan efek yang tidak baik dalam hubungan suami istri, bahkan bisa menjadi bibit penghalang bagi suami dalam berdakwah. [15]
Beberapa dampak tersebut adalah:
- Banyak mengeluh tentang kondisi suami yang jauh dari rumah atau terbatasnya waktu untuk bertemu dengannya.
- Banyak permintaan tanpa mempertimbangkan waktu yang tepat dalam mengutarakan permintaan tersebut
- Dengan tidak sabar, lalai menjaga rahasia rumah tangga dan tidak mengetahui efek negatif yang ditimbulkannya, dia membandingkan antara suaminya dengan suami kerabat, teman atau kenalannya. Dan yang paling ringan dia membandingkan kondisi rumah yang penuh dengan percekcokan, ancaman, dan pukulan serta penyiksaan dengan menggunakan obat-obat terlarang dan pergaulan bebas.
- Lemah dalam mendidik anak-anaknya dengan alasan bahwa sang suami adalah yang pertama bertanggung jawab dalam mendidik anak.
- Hilangnya raut muka yang cerah dikarenakan suaminya sering terlambat pulang dan terlalu sibuk.
- Banyak mengumbar janji kepada kerabat dan orang yang dicintainya tanpa melihat kemampuan suaminya untuk memenuhi janji tersebut.
- Mudah terpengaruh dengan perkataan Wanita lain dan percaya dengan semua yang dikatakannya.
- Mengingkari jasa dan pergaulan baik sang suami kepadanya.
- Terlalu memperhatikan penampilan luar dan perhiasannya.[16]
- Melemahkan semangat suaminya karena rendahnya cita-cita yang dimilikinya; cita-cita suaminya membumbung tinggi di angkasa sedang cita-citanya hanya menumpuk harta. Di kala suaminya pulang, justru mendapati sang istri sibuk dengan model pakaian yang sedang mengetren, atau menggerutu karena kesalahan pada jahitan baju sehingga menyebabkan kewajibannya terbengkalai.[17]
Wanita juga berperan sebagai seorang ibu. Arti seorang ibu mengandung milyaran makna. Ibu adalah lambang surga yang terlihat di dunia, bahkan dalam salah satu haditsnya Rasulullah ﷺ bersabda surga itu ada di telapak kaki ibu.
Makna seorang ibu memang sangat luas, kehadirannya penuh arti, dan ketika kita sedang berjarak, maka ibu adalah orang yang paling kita rindukan. Semasa kecil pun, lebih banyak nama ibu disebut daripada nama ayah.
Ketika baru bermain kemudian pulang ke rumah, maka ibulah orang pertama yang kita tanyakan. Ketika manusia mulai merasa jauh dari ibunya, maka perlu berhati-hati, karena itu bisa menjadi pertanda penderitaan dalam hidup.[18]
Ibu, bagaimanapun juga, tetaplah wanita yang paling mulia di dunia. Pemimpin terbaik zaman juga memberikan teladan agar umat manusia memberikan dua pertiga pengabdian dan baktinya kepada ibu.
Ini tentu mengandung rahasia besar, bukan sekadar teori atau saran tanpa makna. Kesuksesan setinggi apapun yang dicapai oleh anak, tidak bisa dilepaskan dari peran seorang ibu.
Tetapi mungkin ada orang yang bertanya, ibu seperti apa yang bisa mengantar kejayaan putra-putrinya dalam hidup ini?
Tampaknya tidak semua ibu bisa menjalankan fungsi sebagaimana yang diamanatkan oleh agama. Ibu yang penuh makna adalah ibu yang memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anak mereka dengan ketulusan cinta dan kasih sayang.[19]
Mereka tidak mau melempar tanggung jawab pengasuhan kepada orang lain, karena ibulah guru terbesar yang sangat mempengaruhi perkembangan seorang anak.[20]
Referensi
[1] Ibnu Qalami Al-Muhajiri, Mujahidah The Golden Ways, (Klaten: Al-Fajr Media, 2012), hal.
[2] Amar Syarifuddin, Kiprah Dakwah Muslimah, (Solo: Pustaka Arafah, 2008), hal.17.
[3] Ibid, hal. 18.
[4] Ibid.
[5] Amar Syarifuddin, Kiprah Dakwah Muslimah, (Solo: Pustaka Arafah, 2008), hal. 18.
[6] Ibid, hal. 19.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Amar Syarifuddin, Kiprah Dakwah Muslimah, (Solo: Pustaka Arafah, 2008), hal. 20.
[10] Ibid.
[11] QS. Yusuf:108.
[12] Amar Syarifuddin, Kiprah Dakwah Muslimah, (Solo: Pustaka Arafah, 2008), hal. 20.
[13] Ibid, hal 21.
[14] Amar Syarifuddin, Kiprah Dakwah Muslimah, (Solo: Pustaka Arafah, 2008),hal. 21.
[15] Ibid, hal. 46.
[16] Ibid, hal. 47.
[17] Amar Syarifuddin, Kiprah Dakwah Muslimah, (Solo: Pustaka Arafah, 2008), hal. 48.
[18] Darosy Endah Hyoscyamine, Cahaya Cinta Bunda, (Surakarta: Zidna Inspirasi), hal. 113.
[19] Ibid.
[20] Ibid, hal. 114.