Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan mengagungkan perintah-Nya maka ia akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia maupun di akhirat.
Dia akan bersikap wara’ (hati-hati) kepada segala hal yang samar bagi dirinya agar tidak merugikan diri dan agamanya.
Asal arti kata wara’ adalah menahan diri dari yang diharamkan dan merasa risih dengannya. Kemudian, kata ini dipinjam untuk istilah menahan diri dari hal yang mubah (yang dibolehkan) dan halal.
Ibnu Taimiyah berkata, “Wara’ adalah menahan diri dari apa-apa yang akan membahayakan, termasuk di dalamnya perkara-perkara haram dan samar.
Sebab semuanya itu dapat membahayakan. Sungguh, siapa yang menghindari perkara samar telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya.
Siapa yang terjerumus pada perkara samar, terjerumus dalam perkara haram, sebagaimana penggembala yang menggembala di sekitar pagar, tidak ayal akan masuk ke dalamnya.”
Sikap dasar setiap muslim haruslah mampu meninggalkan sekuat tenaga segala apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ia juga harus mampu meninggalkan apa saja yang makruh (dibenci agama). Sikap wara’ merupakan sikap utama ajaran Islam dalam membentuk akhlak islami yang mengantarkan seorang muslim ke derajat yang mulia dan agung. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Termasuk tanda baik keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya. “ (HR. At-Tirmidzi)
Inilah di antara tanda mendasar bagi seorang hamba yang jiwanya sudah diselimuti dengan sikap wara’. Kehati-hatianya begitu sangat luar biasa, sehingga menjadikannya tidak ada keberanian untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Jangankan melakukan perbuatan yang haram, untuk hanya sekedar memberanikan diri melakukan perbuatan yang masih samar bagi agamanya saja tidak berani. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara yang syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatanya. Dan barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus kedalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana pengembala yang menggembalakan binatang gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini menjadi dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupanya, berarti dia telah menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan dalam hal ini menjadi isyarat untuk memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap muru’ah.” (Fathul Bari: 1/127)
Syaikh Shalih Fauzan menguatkan perkataan Ibnu Hajar ini, beliau berkata, “Sebagamana pengembala yang mengembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya, maka demikian pula manusia. Ia tidak mampu mengendalikan dirinya dari terjerumus pada keharaman jika hal itu masih syubhat (hukumnya samar). Permisalan yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampaikan dalam hadits ini adalah permisalan yang begitu jelas dan mudah dicerna. Hadits ini menunjukkan wajibnya kita menjauhi perkara syubhat supaya tidak membuat kita terjatuh pada keharaman.” (Al-Minhah Ar-Rabbaniyah fii Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah: 108)
Karenanya, orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap preventif untuk diri mereka sendiri dengan hati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنْ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ
“Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan hal yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang.” (HR. AT-Tirmidzi)
Demikianlah sikap wara’ dalam ajaran agama Islam, menempati tempat yang tinggi lagi mulia. Ia selalu disandingkan dengan ketaqwaan, karena memang seseorang tidak akan mungkin mencapai derajat taqwa kecuali diiringi dengannya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari diceritakan; “Suatu hari Abu Bakar Ash-Shiddiq mendapatkan makanan dari budaknya. Beliaupun memakan satu suap dari makanan itu. Hamba sahaya itu berkata, “Biasanya tuan selalu bertanya tentang sumber makanan yang saya bawa, tetapi mengapa hari ini tuan tidak berbuat demikian?”
Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu menjawab, “Saya sangat lapar sehingga saya lupa bertanya. Terangkanlah kepada saya darimana kamu memperoleh makanan ini?” Hamba sahayanya menjawab, “Pada zaman jahiliyyah, sebelum saya memeluk Islam, saya pernah menjadi seorang peramal. Suatu ketika saya bertemu dengan satu kaum di sebuah kabilah, kemudian saya membaca mantra kepada mereka. Mereka berjanji kepada saya akan memberikan sesuatu sebagai imbalan jasa saya kepada mereka. Hari ini saya lewat di perkampungan mereka. Mereka berkata, “Di sini sedang dilakukan upacara pernikahan, kemudian mereka memberi makanan ini kepada saya.”
Mendengar cerita hamba sahayanya itu, Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Hampir saja kamu membinasakanku.” Setelah itu dia berusaha memuntahkan makanan itu dengan memasukkan jari tangan ke dalam kerongkongannya. Tetapi disebabkan perasaan sangat lapar yang beliau derita sebelumnya, makanan itupun tidak dapat dikeluarkan. Ada orang yang memberitahu beliau bahwa makanan itu dapat dimuntahkan dengan meminum air sebanyak-banyaknya. Maka beliau meminta air di gelas yang besar, kemudian beliau meminum sebanyak-banyaknya, sehingga makanan itu berhasil dimuntahkan kembali.
Seseorang yang memperhatikan beliau berkata, “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada engkau. Engkau telah bersusah-payah disebabkan sesuap makanan.” Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu menjawab, “Apabila untuk memuntahkan makanan itu harus saya tebus dengan jiwa, maka pasti saya akan melakukannya. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Badan yang tumbuh subur dengan makanan haram, maka api (neraka) lebih baik baginya.” Saya takut ada bagian dari badan saya yang disuburkan oleh makanan itu.”
Demikianlah pentingnya sikap wara’ dalam kehidupan seorang mukmin, dengannya ia akan terpelihara dari hal-hal yang syubhat. Dengannya pula ia akan terjaga agama dan kehormatanya. Sebaliknya, mereka yang tidak menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka akan terjerumus kedalam nafsu angkara murka berupa perbuatan haram yang menjebloskanya kedalam neraka jahannam. Wal ‘Iyadzu billahi min Dzaalik
Oleh : Ust. Ahsanul Huda